Jun Arifin

Jun Arifin

Kisah Pewarta Foto di Sungai Mahakam

Lelaki berkacamata minus itu sudah 15 tahun berkiprah di dunia fotografi. Banyak peristiwa terpotret melalui jepretannya, salah satu yang membekas hingga kini adalah tragedi runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara.
Keceriaan bocah bermain di salah satu spot permukiman di Sungai Mahakam. thelimit.id/Che Harseno

Kisah Pewarta Foto di Sungai Mahakam

DARI belakang Buritan Kapal Enggang Borneo bercat putih-merah, Salehuddin Muhammad (41) mengeluarkan satu persatu peralatan fotografinya yang ada di dalam tas mungil berwarna cokelat keluaran Lowepro. Kamera Canon EOS R, lensa tele 70-200 milimeter berdiafragma 2.8 dan monopod Manbily A-222 digunakan untuk memotret selama dua jam lebih berlayar.

Lelaki berkacamata minus itu sudah 15 tahun berkiprah di dunia fotografi. Banyak peristiwa terpotret melalui jepretannya, salah satu yang membekas hingga kini adalah tragedi runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara. 12 tahun lalu atau pada 12 November 2011, ketika masih berstatus magang sebagai pewarta foto di media lokal ia memfoto jembatan yang melintasi Sungai Mahakam itu roboh.

Seingatnya sewaktu sedang menonton Doraemon bersama keluarga ia mendengar gemuruh. Lantaran fokus menengok melalui jendela rumah mencari asal muasal bunyi, tak lama kemudian ia mengangkat telepon yang berdering-dering. Kabar mengejutkan pun datang dari Samarinda seberang. Salah satu anggota keluarganya mengaku selamat dari peristiwa nahas tersebut.

“Kata dia itu baru mau belok jembatan, sudah hilang itu jembatan,” urainya menirukan kesaksian anggota keluarga.

Rasa penasaran pun menyeret lelaki kelahiran Kutai Kartanegara itu bergegas kesana. Bermodal kamera poket, kurang lebih satu kilometer ia berkendara dari rumah mendatangi sumber bunyi yang kian menderu. Tiba di sana ia mengaku bingung sesaat dan cuma bisa menatap nanar.

Bukan saja karena kendaraan yang bergelantungan pada patahan jembatan namun juga manusia, entah berapa jumlahnya. Tragedi itu terabadikan di dalam kamera mungilnya. Mulai dari orang perlahan memanjat dari ujung patahan hingga yang berusaha berenang ke tepi Sungai Mahakam.

“Aku lihat itu,” katanya.

Pada masa itu menjadi tahun yang traumatik bagi warga Kutai Kartanegara terutama. Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara secara tiba-tiba menyebabkan gangguan lalu lintas yang parah, menghentikan arus kendaraan dan mengisolasi wilayah di sekitar sungai.

Baca juga:  Lewat Musdalub ALTI Kalimantan Timur, Zairin Zain Terpilih Sebagai Ketua Umum

Dampaknya pun dirasakan oleh para pengguna jalan, pedagang, serta warga yang tergantung pada hubungan antar kota. Namun, ia menyaksikan di balik tragedi tersebut, gema solidaritas kian tersebar ke berbagai penjuru. Banyak relawan yang datang untuk memberikan bantuan.

Ihwal tanggung jawab, banyak sorotan mengenai kesalahan pada perawatan jembatan. Perawatan yang seharusnya dilakukan secara berkala diabaikan begitu saja. Padahal sarana itu merupakan jembatan yang sangat besar. Serta dikerjakan pembangunannya dengan teknologi canggih sebagaimana ditulis Yeni Purbasari dalam Pertanggungjawaban Terhadap Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara (2015, halaman 188-189).

Terlepas dari itu sejak masih remaja pada tahun ’90 an, ia sudah dibelikan kamera analog atau manual oleh ayahnya. Di awal-awal, aliran fotografi jalanan jadi daya tarik tersendiri hingga dari situ pula ia memetik banyak pengalaman dalam memotret. Kemudian saat menapaki usia belasan tahun dan mengenyam pendidikan jurusan IPS di SMA 2 Tenggarong, ia mulai mengembangkan kemampuannya.

Ia pun mulai membidik ragam-rupa soal sesudah menekuni fotografi jurnalistik persisnya pascatragedi runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara. Sebagai pewarta foto harian untuk kegiatan olahraga, ia kerap kali berhubungan dengan para atlet. Khususnya pesepak bola dari Mitra Kukar.

Saking sering memotret mereka, ia akhirnya diajak menjadi fotografer klub sepak bola tersebut. Karena dipercaya, ia telah berkeliling ke beberapa negara di Asia Tenggara diantaranya Thailand, Singapore dan Malaysia. Untuk mengabadikan momen latihan klub “Naga Mekes” itu.

“10 tahunan kayaknya di foto sport,” ungkap Ale, sapaan karibnya.

Menapaki waktu demi waktu Ale membentuk Hunting Beramaian, sebuah komunitas fotografi yang menjunjung kesetaraan. Dengan kata lain setiap orang bakal belajar bersama tanpa adanya batasan antara junior maupun senior. Di atas kapal sepanjang 27 meter tersebut, Ale mengaku akan membaktikan dirinya pada dunia fotografi.

Baca juga:  445,75 Kilometer Akses Jalan di Kutai Timur Rusak Berat, Lomba Foto Digelar untuk Kritisi Pemerintah

Pada siang yang berawan itu tak jauh dari kursi Ale, pewarta foto asal Kabupaten Kutai Timur, Irfan Nur Aditama (39), punya pengalaman berbeda saat memotret sebuah peristiwa di sekitar Sungai Mahakam. Permulaan 2012 ia mulai mempelajari beragam aliran pemotretan termasuk untuk produk jurnalistik. Meski begitu ia juga nyambi mempraktikkan hasil belajarnya di media cetak Kaltim Post.

Tapi jauh sebelumnya semasa menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, Yogyakarta, ia telah mempelajari anatomi kamera bersama komunitas fotografi di sana.

Sependek ingatannya sesudah tahun 2012, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di sekitar Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, terbakar. Ketika itu api berkobar ke sembarang tempat hingga gegara tumpahan bahan bakar minyak dari SPBU jatuh ke Sungai Mahakam. Permukaan sungai pun tersulut api.

“Aku dapat info waktu itu dadakan,” ungkapnya.

Karena kabar itu mendadak ia peroleh dan lokasi kejadian berada di tepi sungai, akhirnya ia memutuskan menyewa perahu kecil milik salah seorang nelayan kenalannya. Berbekal kamera Canon 50D dengan lensa Super Wide 10-22 milimeter, ia memotret kejadian itu dari berbagai sudut.

“Kalau nggak salah Rp100 ribu sekali nyebrang pake perahu itu,” katanya.

Pengalaman lainnya, ia pernah memfoto hilir-mudik kapal yang mengangkut batu bara di sepanjang Sungai Mahakam. Namun ia tak menduga ditegur oleh nakhoda kapal tersebut. Menurutnya kejadian itu tak seharusnya dialami oleh seorang jurnalis mengingat peran wartawan dalam menceritakan ulang sebuah peristiwa berdasar pada fakta untuk diketahui oleh pembaca terutama warga Kota Samarinda. (*/Edi)